Tulisan ini adalah sebuah coretan yang sengaja disusun oleh saya tentang apa yang dirasakan dalam suatu perbincangan dengan Anita Srikandi. Hal yang pasti coretan ini tidak ada keberadaannya hingga saya yang menulisnya karena ini hanya sebagai komplimen dari sebuah menu penyegaran.
Krisis... Krisis...
Telah menginjakan kaki di Indonesia sejak 1997 silam dan apa solusinya? Sedikit banyak telah diperbuat oleh para pakar politik dan pemimpin negara, walau tiada tahu apa yang dihasilkan. Tapi hal yang pasti dan nyata dampak krisis tersebut masih terasa dan berlanjut. Inilah gambaran atas krisis bangsa dan pemimpin yang dimulai dari krisis moneter, sosial, politik, kepercayaan, budaya, etik, dan moral; dan terus berkembang hingga menyentuh kepada krisis global energi, pangan dan terakhir yaitu dampak krisis finansial ekonomi dunia (resesi ekonomi).
Jalur dengan akal sehat mana yang harus ditempuh agar dapat mengatasi permasalahan tersebut, apakah dengan konsep evolusi, reformasi, atau revolusi? Bagaimana dengan pemilu, apakah perlu ganti partai dan kepemimpinan demi rakyat, kemandirian dan kejayaan bangsa?
Demokrasi... Demokrasi...
Rakyat sudah lelah dan masa bodo. Dalam pembelajaran terdengar suara teriakan, dan terlihat perbuatan anarkis yang tersebar diseluruh jajaran nusantara. Apakah ini yang disebut makna dari kata demokrasi? Hal yang membuat kita termenung dan tertegun.
Membangun demokrasi dibutuhkan landasan pilar pondasi. Apakah seperti pancasilais, nasionalis, sosialis, agamais, feodalis, kapitalis atau militeris? Karena selama yang ada hanya membuat kepala kita tertunduk atas kebodohan yang diperbuat dan dipermalukan oleh diri sendiri. Menu demokrasi Indonesia bukanlah berupa kearoganan yang disertai emosi melainkan buka hati nurani dan keiklasan yang dipadu dengan kultur budaya dan jati diri bangsa. Itulah kunci demokrasi karena jika tidak maka apa yang dilakukan hanyalah berupa mimpi atau panggung sandiwara yang dilengkapi dengan jatuhnya korban yang tidak berdosa.
Jujur, pelupa, terima kenyataan, dan bukan pendendam; inilah gambaran sisi negara dan bangsa kita. Bercermin dan berbahagialah jika ada kritikan; tidak perlu malu karena ini adalah bagian dari pembelajaran. Saya percaya tekad untuk berjuang dari titik nol demi sebuah perubahan akan menghasilkan sesuatu. Tekad ini jangan disama artikan dengan sebuah debat kusir yang penuh akan kemunafikan; atau pasrah dan berdoa berharap sebuah keajaiban.
Mari bersama bergandengan tangan, berjuang demi "perubahan" Indonesia. Indonesia dengan energi, kekuatan, dan warna baru; tentu kita bisa.
Mari bersama bergandengan tangan, giat belajar dan berkerja keras demi bangsa Indonesia agar terlepas dari belenggu kemiskinan dan kebodohan; tentu kita maju.
Pemuda pemudi mari kita belajar demi masa depan Indonesia. Membangun keberadaan bangsa dan merubahan tatanan negara yang demokrasi pasti ada harga yang harus dibayar baik waktu, keringat, tenaga, bahkan darah. Tapi jika bukan kita siapa lagi?
Mari bersama peduli akan anak bangsa, kaum perempuan, jati diri bangsa, bumi nusantara, dan kedamaian dunia.
Inikah? Fenomena suara hati perempuan Indonesia. Diawali dengan giat belajar sebagai siswi yang cerdas dan sopan. Berkembang menjadi seorang ibu rumah tangga yang bijak dan pengasih. Selanjutnya, menggapai predikat dan cita-cita sebagai calon ibu negara yang dikagumi dan dihormati. Apakah ini suatu halusinasi yang sangat sensasional dan spektakuler?
Suara Hati Perempuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Grab this Widget ~ Blogger Accessories Custumized by Yuniarto Rahardjo
0 komentar:
:@ :~ :| :)) :( :s :(( :o
Posting Komentar